Tersebar diseluruh utara Jepang sekitar prefektur Yamagata terdapat dua lusin mumi biarawati Jepang dikenal dengan sebutan Sokushinbutsu yang menimbulkan maut mereka sendiri dengan cara abnormal yang menciptakan diri mereka sendiri menjadi mumi. Praktik ini pertama kali dirintis oleh seorang biksu berjulukan Kuukai, lebih dari 1000 tahun yang kemudian di kompleks candi gunung Koya di prefektur Wakayama.
Iklim Jepang tidak aman untuk mumifikasi. Tidak ada rawa gambut, tidak ada gersang kering, dan tidak ada puncak alpine yang terbungkus es abadi. Musim panasnya panas dan lembab. Namun entah bagaimana sekelompok biksu Budha dari sekte Shingon menemukan cara untuk mumifikasi diri mereka melalui pembinaan pertapaan ketat dalam bayangan puncak yang sangat sakral di prefektur utara Yamagata yang bergunung-gunung.
Antara 1081 dan 1903, setidaknya 17 biksu berhasil memumikan diri mereka. Jumlahnya mungkin lebih tinggi, bagaimanapun, alasannya yakni kemungkinan beberapa mumi tidak pernah pulih dari makam yang berada di puncak gunung. Para bhikkhu ini melaksanakan praktek menyerupai itu dalam emulasi seorang biarawan masa kesembilan berjulukan Kūkai, yang dikenal sehabis meninggal sebagai Kōbō Daishi, yang mendirikan sekolah Shingon yang esoteris dari Buddhisme pada tahun 806. Pada masa ke 11, sebuah hagiografi Kūkai muncul dengan mengklaim bahwa, sehabis kematiannya di 835, bhikkhu itu tidak mati sama sekali, tetapi merangkak masuk ke makamnya dan memasuki nyūjō, keadaan meditasi yang sangat dalam sehingga memicu mati suri.
Menurut hagiografi ini, Kūkai berencana untuk muncul sekitar 5,67 juta tahun untuk mengantarkan sejumlah jiwa yang telah ditentukan ke dalam nirwana. Tubuh mereka akan menjadi mumi selama sepuluh tahun dan diyakini bahwa ada ratusan biksu yang mencoba cara ini. Dipercaya bahwa ratusan bhikkhu telah mencoba, tetapi hanya 24 mumifikasi yang telah ditemukan hingga saat ini. Ada pendapat umum bahwa pendiri sekolah Shingon, Kukai, membawa praktik ini dari Tang Cina sebagai pecahan dari praktik belakang layar tantra yang ia pelajari, dan itu kemudian hilang di Tiongkok.
Pada masa pertengahan di Jepang, tradisi ini membuatkan proses untuk Sokushinbutsu, yang diselesaikan oleh seorang bhikkhu selama sekitar 3.000 hari hingga sepuluh tahun. Ini melibatkan diet ketat yang disebut mokujikigyo (secara harfiah, "memakan sebatang pohon"). Pola makan abstain dari sereal apapun, dan bergantung pada jarum pinus, damar dan biji yang ditemukan di pegunungan, yang akan menghilangkan semua lemak di dalam tubuh. Meningkatnya puasa dan meditasi akan menimbulkan kelaparan.
Para bhikkhu perlahan-lahan mengurangi kemudian menghentikan asupan cairan, sehingga kehilangan cairan tubuh badan dan mengecilkan semua organ. Para bhikkhu akan mati dalam keadaan jhana (meditasi) sambil melantunkan nenbutsu (mantra perihal Buddha), dan badan mereka akan secara alami dilestarikan sebagai mumi dengan kulit dan gigi yang utuh tanpa pembusukan dan tanpa memerlukan pengawet buatan. Banyak mumi Sokushinbutsu Buddha telah ditemukan di Jepang utara dan diperkirakan berusia berabad-abad, sementara teks mengatakan bahwa ratusan kasus ini dikubur di stupa dan pegunungan Jepang. Mumi-mumi ini telah dihormati dan dihormati oleh umat awam Buddhisme.
Efek yang diterima dengan meminum teh tersebut menimbulkan mereka muntah dan kehilangan cairan badan dengan cepat dan yang paling penting itu menciptakan badan biksu ini terlalu beracun untuk dimakan oleh belatung. Akhirnya seorang biarawan yang memumifikasikan dirinya akan mengunci diri didalam kuburan kerikil yang ukurannya hampir tidak lebih besar dari ukuran tubuhnya, dimana ia tidak sanggup bergerak dari posisi lotus, setiap hari ia membunyikan lonceng untuk memberi tahu bahwa ia masih dalam kondisi hidup didalam kuburannya tersebut.
Apabila lonceng telah berhenti berbunyi makam akan eksklusif disegel, sehabis makam itu disegel para biarawan lain di kuil akan menunggu selama 1000 hari dan membuka kuburannya untuk melihat apakah proses mumifikasi tersebut berhasil. Jika biksu telah berhasil menjadi mumi mereka dianggap dilihat sebagai Buddha dan dimasukkan ke dalam kuil meskipun biasanya ada pecahan badan mumi tersebut yang membusuk. Sebelum kematiannya biksu ini mempunyai aksesoris sebelum menjadi mumi, praktik ini kini sudah tidak boleh oleh pemerintah jepang dan sudah tidak dilakukan hingga hari ini.
Dari perspektif spiritual, cara hidup ini dimaksudkan untuk menguatkan semangat dan menjauhkan diri dari dunia insan biasa. Dari sudut pandang biologis, diet berat membersihkan badan dari lemak, otot, dan kelembapan sementara juga menahan nutrisi dari biosfer alami dari basil dan benalu tubuh. Efek kumulatif yakni untuk menahan dekomposisi sehabis kematian.
Pada penyelesaian siklus seribu hari pada diet ini, para praktisi dianggap siap secara rohani untuk memasuki nyūjō. Namun, sebagian besar biksu menuntaskan dua atau bahkan tiga siklus untuk mempersiapkan diri sepenuhnya. Setelah siklus terakhir, orang yang taat itu akan memotong semua makanan, minum air salinisasi dalam jumlah terbatas selama seratus hari, dan jikalau tidak merenungkan keselamatan insan sambil menunggu untuk mati.
Orang terakhir yang menjadi sokushinbutsu melakukannya secara ilegal. Seorang biksu berjulukan Bukkai meninggal pada tahun 1903, lebih dari tiga dekade sehabis tindakan ritual itu dikriminalisasi selama Restorasi Meiji alasannya yakni pemerintah gres menganggapnya barbar dan terbelakang atau udik. Saat itu Jepang telah memasuki zaman modern, dan kebanyakan orang menganggap Bukkai lebih gila daripada orang bijak. Sisa jenazahnya tidak diserap hingga 1961 oleh tim peneliti dari Universitas Tohoku, yang kagum dengan kondisi murni Bukkai. Meskipun ia memasuki nyūjō di Yamagata, jenazahnya kini beristirahat di Kanzeonji di Prefektur Niigata yang berdekatan. Ada 16 sokushibutsu yang masih ada di Jepang, 13 diantaranya diawetkan di wilayah Tohoku. Tujuh dari delapan yang ditemukan di Yamagata tetap berada di sekitar Mt. Yudono, menjadikannya daerah yang ideal untuk berziarah.
Yang tertua dan berhasil diawetkan dengan baik dari biksu yang dimurnikan ini sanggup ditemukan di Dainichibō, yang disebutkan di atas. Namanya Shinnyokai, dan ia memasuki nyūjō pada tahun 1783 pada usia 96 tahun. Seperti yang lainnya, ia duduk dalam posisi lotus di balik beling dalam sebuah kotak di kuil kecil di dalam kuil yang terlihat setelahnya. Kulitnya berwarna abu-abu pucat, ditarik di atas tulang-tulang tangan, pergelangan tangan, dan wajahnya. Mulutnya terentang menjadi seringai serigala abadi, wajahnya menghadap ke pangkuannya.
Jubah Shinnyokai secara jelas diganti secara ritual setiap enam tahun, dua kali lebih sering daripada semua sokushinbutsu lainnya. Jubah renta itu dipotong menjadi berbentuk kotak kecil dan ditempatkan di dalam kantong berlapis sutra yang sanggup dibeli seharga ¥ 1.000 sebagai jimat pelindung. Testimonial yang dikirim oleh orang-orang yang bersumpah dengan imbas asing dari jimat ini terpampang di sekitar pangkal kuil Shinnyokai.
Sokushinbutsu lainnya, Tetsumonkai, berada di Churenji yang berdekatan, juga disebutkan di atas. Tetsumonkai memasuki nyūjō pada tahun 1829 pada usia 71 tahun, dan dari semua sokushinbutsu, hidupnya mungkin yang paling manis didokumentasikan. Tetsumonkai yakni orang biasa yang membunuh seorang samurai dan melarikan diri untuk bergabung dengan imamat, suatu tindakan yang memungkinkannya mendapat pinjaman aturan sepenuhnya. Kemudian, Tetsumonkai mengunjungi ibu kota Edo, Tokyo masa kini. Di sana ia mendengar perihal penyakit mata yang melanda kota dan mencungkil mata kirinya sebagai tindakan yang sanggup menangkal penyakit itu. Luar biasa, Tetsumonkai yakni salah satu dari beberapa sokushinbutsu yang membuang matanya secara eksklusif sebagai bentuk amal.
Sumber
https://www.atlasobscura.com/articles/sokushinbutsu
https://en.wikipedia.org/wiki/Sokushinbutsu
0 Response to "Sokushinbutsu, Ritual Mumifikasi Biksu Di Jepang"